SEMPURNA
Anak-anakku,
Bagiku, ibu kalian,
Kalian adalah mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna…
Tawa kalian, senyum kalian, bahkan tangis merajuk kalian, indah untukku
Mencium kalian adalah menghisap energi positif yang sangat kuat,
Yang mampu membuang semua duka, kecewa dan letih
Memeluk kalian adalah jatuh dalam perasaan aman yang teramat dalam,
Yang tidak ada sesuatupun mampu merusaknya
Mendengarkan kalian adalah mendengar lagu surgawi yang khusus Tuhan ciptakan untukku
Memandangi damainya tidur kalian, mampu menggetarkan relung-relung hatiku,
Seperti aku tidak pernah sebahagia itu sebelumnya
Anak-anakku,
Aku mencintai kalian, jauh melebihi apa yang kalian sadari
Semoga Tuhan selalu membimbing langkah kalian
Supaya kalian senantiasa di jalanNya..
SURATKU UNTUK TUHANKU
Tuhan,
Aku ingat, dulu aku sering menulis surat untukmu ketika aku kecil
Ingatkah Kau, aku sering menulisimu surat ketika aku merasa sendiri.
Kotak pos ku untukmu adalah lemari kecil di meja belajarku, yang selalu terkunci karena aku kehilangan kuncinya
Saat itu tak ada yang bisa membukanya tanpa kunci itu, jadi aku merasa, kotak pos itu memang cocok untukMu
Tuhan,
Kini aku menulisimu lagi,
Tapi bukan karena aku merasa sendiri.
Saat ini, aku merasa sangat penuh, hingga aku tak kuasa menahan air mata haru ini
Terima kasih atas semua yang kau berikan
Semua yang boleh aku katakana sebagai “milikku”, walaupun aku sadar, semuanya adalah milikMu…
Terima kasih…
Prinsip ilmu hipnotis
Mengasuh anak-anak yang masih kecil, memang penuh suka duka. Tapi, menurut saya, lebih banyak suka-nya.
Salah satunya adalah saya bisa banyak belajar hal-hal baru, termasuk prinsip ilmu hipnotis!
Teman saya pernah bercerita, jika kita ingin terhindar dari efek hipnotis, jangan biarkan pikiran kita dipengaruhi oleh si penghipnotis. Tetap fokuslah pada pikiran kita.
Naaaaah, sayangnya (mungkin lebih tepatnya “beruntungnya”), anak- anak kita yang masih sangat kecil, belum tahu berita itu.
Salah satu anak saya, tidak terlalu hobi makan. Jadi ketika dia sudah makan beberapa suap, biasanya dia akan menolak.
Yang saya lakukan adalah, yang saya yakin juga dilakukan oleh ibu-ibu dan pengasuh-pengasuh lain, kuasai pikirannya… buat dia lengah dan tidak terpaku lagi pada pikirannya untuk menolak makanan.
Manfaatkan suasanan sekitar. Gambar, benda, binatang, tanaman, bunyi-bunyian, dan lain-lainnya.
Terdengar tidak asing? Ya, saya tahu, hal ini bukan sesuatu yang baru. Tetapi pernahkah terpikirkan oleh kita, bahwa sebetulnya kita sedang mempraktekkan prinsip ilmu hipnotis?
Cinta bukanlah kewajiban
Kita selalu mendengar dan mengatakan bahwa cinta orangtua tidak mengenal pamrih. Namun kenyataannya, tidak semua orangtua memegang prinsip itu. Mungkin termasuk kita. Hal ini tersirat dalam pernyataan yang kita juga sering mendengar dan percayai bahwa “anak wajib membalas budi pada orangtua”.
Pemikiran saya yang satu ini, mungkin terdengar kontroversial.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan tersebut. Mengapa?
Jika kita setuju dengan pernyataan tersebut, itu berarti, ketika kita tua, tidak seproduktif sekarang, kita “menuntut” mereka untuk membalas budi atas apa-apa yang sudah kita lakukan pada mereka. Kita berfikir, kewajiban merekalah untuk mengurus kita.
Menurut saya, hal itu terdengar sangat tidak adil. Mengapa kita harus menuntut mereka?
Mari kita ingat baik-baik. Ketika dulu kita menikah dengan pasangan kita, kita berdoa pada Tuhan, dengan doa yang paling khusyuk dan syahdu, agar kita diberi keturunan. Lalu datanglah malaikat-malaikat itu. Kita sambut mereka dengan sukacita, perasaan bahagia yang sangat dalam. Lalu mereka mulai memberi kita “hadiah”. Satu demi satu. Dari senyuman, pelukan, perilaku baik, prestasi dan lebih banyak hadiah-hadiah lain sepanjang pengasuhan kita. Lalu ketika mereka dewasa, kita “menuntut” mereka? Egois nian kita ini sebagai orang tua. Bukankah mereka telah memberi kita sangat banyak? Sebandingkah dengan uang yang kita keluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka? Menurut saya, tidak. Karena, itu adalah kewajiban kita sebagai orangtua. Kita yang bertanggungjawab atas keberadaan mereka disini. Jadi, sewajarnya jika kita mengurus mereka dengan sebaik-baiknya.
Tetapi, apakah itu berarti bahwa kita atau anak kita boleh tidak menghargai kita? Tergantung.
Tergantung bagaimana kita, sebagai orangtua menanamkan cinta pada mereka. Tergantung pada seberapa besar investasi cinta kita pada mereka. Bukan investasi uang.
Jadi, tidak ada kewajiban bagi anak kita untuk mencintai kita. Cinta bukan kewajiban. Cinta adalah perasaan yang tumbuh, karena ditanam dan dipupuk. Jika kita berinvestasi besar dalam cinta pada anak kita, seharusnya kita tidak mempermasalahkan, kewajiban siapa, untuk mengurus kita kelak.
GOLDEN AGE
Saya yakin, kita semua, para orangtua sering mendengar istilah ini. Ya, banyak ahli meyakini usia 0-6 tahun merupakan periode keemasan pada anak. Mulai dari Maria Montessori, Jean Piaget dan banyak ahli lainnya. Seperti yang para ahli tersebut kemukakan bahwa pada fase ini, anak mudah menyerap apa saja yang mereka tangkap melalui alat indera mereka. Mereka bahkan bisa membangun sendiri pengetahuan baru dari pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya, termasuk pembentukan kepribadian.
Tahukah anda, Allah pemberi akal kita (termasuk para ahli tersebut diatas) juga menyetujuinya? Anda pasti ingat kan, doa untuk orangtua? Salah satu ayatnya mempunyai arti yang kurang lebih seperti ini “Ya Allah, sayangilah orangtuaku seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”. Ada kata-kata “diwaktu kecil”. Kenapa tidak “ketika aku remaja” atau “ketika aku dewasa”?
Hargailah masa kecil anak-anak anda. Berikanlah yang terbaik.
DOA TERIMA KASIH
Ada banyak nilai-nilai yang saya ingin anak saya miliki, termasuk rasa “tahu diri” dan “reflektif” atau kemampuan untuk mengevaluasi diri yang keduanya berujung pada perasaan tahu berterimakasih dan bersyukur.
Untuk itu, saya menerapkan “Doa terima Kasih” pada anak saya.
Setiap hari, sebelum tidur, kami membaca beberapa doa, termasuk doa Terima Kasih tersebut. Isinya adalah pengucapan rasa syukur kita atas apa yang sudah kita terima hari itu. Alhamdulillah, anak saya yang 3 tahun, sudah bisa melakukannya.
Awalnya memang tidak mudah. Kadang dia bosan, karena terlalu lama berdoa (ada sekitar 3 doa sebelum doa itu). Dia juga harus mengikuti dulu apa yang kita katakan.
Kita buat kalimat pembuka yang standar, yang baku, seperti misalnya “ Ya Allah, terimakasih, hari ini aku sudah……”, agar anak mendapat petunjuk awal dan tahu bagaimana memulainya. Kemudian perlahan-lahan, beri dia kesempatan untuk mengingat kembali apa yang dia lakukan hari itu, tentu saja dengan bantuan kita. Setelah dia terbiasa dengan hal itu, minta dia untuk berdoa sendiri dengan caranya.
Jangan sekali-kali kita menginterupsi atau menyalahkan anak kita ketika berdoa. Biarkan saja dia menyelesaikan doanya. Bukankah doa adalah hal yang sangat personal antara si pendoa dan Tuhan? Dan bukankah Tuhan memahami semua doa kita, bagaimanapun cara kita mengekspresikannya, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit ? Namun, kita juga boleh memberi masukan, sebagai bagian dari proses belajarnya. Hal itu bisa kita sampaikan di lain kesempatan, sehingga tidak merusak kepercayaan dirinya.
Anak-anakku,
Bagiku, ibu kalian,
Kalian adalah mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna…
Tawa kalian, senyum kalian, bahkan tangis merajuk kalian, indah untukku
Mencium kalian adalah menghisap energi positif yang sangat kuat,
Yang mampu membuang semua duka, kecewa dan letih
Memeluk kalian adalah jatuh dalam perasaan aman yang teramat dalam,
Yang tidak ada sesuatupun mampu merusaknya
Mendengarkan kalian adalah mendengar lagu surgawi yang khusus Tuhan ciptakan untukku
Memandangi damainya tidur kalian, mampu menggetarkan relung-relung hatiku,
Seperti aku tidak pernah sebahagia itu sebelumnya
Anak-anakku,
Aku mencintai kalian, jauh melebihi apa yang kalian sadari
Semoga Tuhan selalu membimbing langkah kalian
Supaya kalian senantiasa di jalanNya..
SURATKU UNTUK TUHANKU
Tuhan,
Aku ingat, dulu aku sering menulis surat untukmu ketika aku kecil
Ingatkah Kau, aku sering menulisimu surat ketika aku merasa sendiri.
Kotak pos ku untukmu adalah lemari kecil di meja belajarku, yang selalu terkunci karena aku kehilangan kuncinya
Saat itu tak ada yang bisa membukanya tanpa kunci itu, jadi aku merasa, kotak pos itu memang cocok untukMu
Tuhan,
Kini aku menulisimu lagi,
Tapi bukan karena aku merasa sendiri.
Saat ini, aku merasa sangat penuh, hingga aku tak kuasa menahan air mata haru ini
Terima kasih atas semua yang kau berikan
Semua yang boleh aku katakana sebagai “milikku”, walaupun aku sadar, semuanya adalah milikMu…
Terima kasih…
Prinsip ilmu hipnotis
Mengasuh anak-anak yang masih kecil, memang penuh suka duka. Tapi, menurut saya, lebih banyak suka-nya.
Salah satunya adalah saya bisa banyak belajar hal-hal baru, termasuk prinsip ilmu hipnotis!
Teman saya pernah bercerita, jika kita ingin terhindar dari efek hipnotis, jangan biarkan pikiran kita dipengaruhi oleh si penghipnotis. Tetap fokuslah pada pikiran kita.
Naaaaah, sayangnya (mungkin lebih tepatnya “beruntungnya”), anak- anak kita yang masih sangat kecil, belum tahu berita itu.
Salah satu anak saya, tidak terlalu hobi makan. Jadi ketika dia sudah makan beberapa suap, biasanya dia akan menolak.
Yang saya lakukan adalah, yang saya yakin juga dilakukan oleh ibu-ibu dan pengasuh-pengasuh lain, kuasai pikirannya… buat dia lengah dan tidak terpaku lagi pada pikirannya untuk menolak makanan.
Manfaatkan suasanan sekitar. Gambar, benda, binatang, tanaman, bunyi-bunyian, dan lain-lainnya.
Terdengar tidak asing? Ya, saya tahu, hal ini bukan sesuatu yang baru. Tetapi pernahkah terpikirkan oleh kita, bahwa sebetulnya kita sedang mempraktekkan prinsip ilmu hipnotis?
Cinta bukanlah kewajiban
Kita selalu mendengar dan mengatakan bahwa cinta orangtua tidak mengenal pamrih. Namun kenyataannya, tidak semua orangtua memegang prinsip itu. Mungkin termasuk kita. Hal ini tersirat dalam pernyataan yang kita juga sering mendengar dan percayai bahwa “anak wajib membalas budi pada orangtua”.
Pemikiran saya yang satu ini, mungkin terdengar kontroversial.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan tersebut. Mengapa?
Jika kita setuju dengan pernyataan tersebut, itu berarti, ketika kita tua, tidak seproduktif sekarang, kita “menuntut” mereka untuk membalas budi atas apa-apa yang sudah kita lakukan pada mereka. Kita berfikir, kewajiban merekalah untuk mengurus kita.
Menurut saya, hal itu terdengar sangat tidak adil. Mengapa kita harus menuntut mereka?
Mari kita ingat baik-baik. Ketika dulu kita menikah dengan pasangan kita, kita berdoa pada Tuhan, dengan doa yang paling khusyuk dan syahdu, agar kita diberi keturunan. Lalu datanglah malaikat-malaikat itu. Kita sambut mereka dengan sukacita, perasaan bahagia yang sangat dalam. Lalu mereka mulai memberi kita “hadiah”. Satu demi satu. Dari senyuman, pelukan, perilaku baik, prestasi dan lebih banyak hadiah-hadiah lain sepanjang pengasuhan kita. Lalu ketika mereka dewasa, kita “menuntut” mereka? Egois nian kita ini sebagai orang tua. Bukankah mereka telah memberi kita sangat banyak? Sebandingkah dengan uang yang kita keluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka? Menurut saya, tidak. Karena, itu adalah kewajiban kita sebagai orangtua. Kita yang bertanggungjawab atas keberadaan mereka disini. Jadi, sewajarnya jika kita mengurus mereka dengan sebaik-baiknya.
Tetapi, apakah itu berarti bahwa kita atau anak kita boleh tidak menghargai kita? Tergantung.
Tergantung bagaimana kita, sebagai orangtua menanamkan cinta pada mereka. Tergantung pada seberapa besar investasi cinta kita pada mereka. Bukan investasi uang.
Jadi, tidak ada kewajiban bagi anak kita untuk mencintai kita. Cinta bukan kewajiban. Cinta adalah perasaan yang tumbuh, karena ditanam dan dipupuk. Jika kita berinvestasi besar dalam cinta pada anak kita, seharusnya kita tidak mempermasalahkan, kewajiban siapa, untuk mengurus kita kelak.
GOLDEN AGE
Saya yakin, kita semua, para orangtua sering mendengar istilah ini. Ya, banyak ahli meyakini usia 0-6 tahun merupakan periode keemasan pada anak. Mulai dari Maria Montessori, Jean Piaget dan banyak ahli lainnya. Seperti yang para ahli tersebut kemukakan bahwa pada fase ini, anak mudah menyerap apa saja yang mereka tangkap melalui alat indera mereka. Mereka bahkan bisa membangun sendiri pengetahuan baru dari pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya, termasuk pembentukan kepribadian.
Tahukah anda, Allah pemberi akal kita (termasuk para ahli tersebut diatas) juga menyetujuinya? Anda pasti ingat kan, doa untuk orangtua? Salah satu ayatnya mempunyai arti yang kurang lebih seperti ini “Ya Allah, sayangilah orangtuaku seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”. Ada kata-kata “diwaktu kecil”. Kenapa tidak “ketika aku remaja” atau “ketika aku dewasa”?
Hargailah masa kecil anak-anak anda. Berikanlah yang terbaik.
DOA TERIMA KASIH
Ada banyak nilai-nilai yang saya ingin anak saya miliki, termasuk rasa “tahu diri” dan “reflektif” atau kemampuan untuk mengevaluasi diri yang keduanya berujung pada perasaan tahu berterimakasih dan bersyukur.
Untuk itu, saya menerapkan “Doa terima Kasih” pada anak saya.
Setiap hari, sebelum tidur, kami membaca beberapa doa, termasuk doa Terima Kasih tersebut. Isinya adalah pengucapan rasa syukur kita atas apa yang sudah kita terima hari itu. Alhamdulillah, anak saya yang 3 tahun, sudah bisa melakukannya.
Awalnya memang tidak mudah. Kadang dia bosan, karena terlalu lama berdoa (ada sekitar 3 doa sebelum doa itu). Dia juga harus mengikuti dulu apa yang kita katakan.
Kita buat kalimat pembuka yang standar, yang baku, seperti misalnya “ Ya Allah, terimakasih, hari ini aku sudah……”, agar anak mendapat petunjuk awal dan tahu bagaimana memulainya. Kemudian perlahan-lahan, beri dia kesempatan untuk mengingat kembali apa yang dia lakukan hari itu, tentu saja dengan bantuan kita. Setelah dia terbiasa dengan hal itu, minta dia untuk berdoa sendiri dengan caranya.
Jangan sekali-kali kita menginterupsi atau menyalahkan anak kita ketika berdoa. Biarkan saja dia menyelesaikan doanya. Bukankah doa adalah hal yang sangat personal antara si pendoa dan Tuhan? Dan bukankah Tuhan memahami semua doa kita, bagaimanapun cara kita mengekspresikannya, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit ? Namun, kita juga boleh memberi masukan, sebagai bagian dari proses belajarnya. Hal itu bisa kita sampaikan di lain kesempatan, sehingga tidak merusak kepercayaan dirinya.